cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia
ISSN : 2655514X     EISSN : 26559099     DOI : http://doi.org/10.38011/jhli
Core Subject : Social,
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) terbit dengan nomor ISSN baru mulai volume 5 nomor 1. Sebelumnya, “JHLI” terdaftar dengan nomor ISSN: 2355-1350 dengan nama Jurnal Hukum Lingkungan (JHL). Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) merupakan salah satu wadah penelitian dan gagasan mengenai hukum dan kebijakan lingkungan, yang diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) setiap 6 bulan sekali.
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 5 No 2 (2019): April" : 8 Documents clear
Aktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking Adryan Adisaputra Tando; Theresia E.K. Hindriadita
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 5 No 2 (2019): April
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38011/jhli.v5i2.91

Abstract

Tahun 2018 adalah momentum kebangkitan pemerintah berorientasi lingkungan hidup. Hal demikian bukan hanya karena penegakan hokum lingkungan yang semakin masif dilakukan, akan tetapi juga karena adanya perkembangan kebijakan yang bernuansa hijau. Pada September 2018, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup. Langkah ini merupakan salah satu bentuk implementasi Nawacita ketujuh. Tetapi, ada beberapa hal yang perlu dikaji ulang terkait dengan sumber dan alokasi pendanaan lingkungan. Singkatnya, detail pengaturan kedua hal tersebut berpotensi menyimpangi prinsip pencemar membayar. Peraturan ini menjadikan APBN dan APBD sebagai sumber dana lingkungan serta melakukan penggabungan alokasi dana yang berasal dari dua jenis dana berbeda. Dampaknya, peraturan yang awalnya menjadi harapan bagi lingkungan hidup berpotensi menjadi bumerang bagi masyarakat, pemerintah, dan lingkungan hidup itu sendiri. Tulisan ini merupakan suatu bentuk analisis kritis Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 agar mampu membawa dampak baik untuk pemerintahan selanjutnya.
Moratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ala Politik Hijau Sekar Banjaran Aji
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 5 No 2 (2019): April
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38011/jhli.v5i2.92

Abstract

Pada fase terakhir pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) tentang penghentian sementara (moratorium) perluasan lahan dan evaluasi perkebunan sawit. Regulasi ini tercantum dalam Inpres Nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit, ditandatangani Jokowi pada 19 September 2018. Kajian ini melihat apakah kebijakan Moratorium Sawit Jokowi dapat dikategorikan sebagai kebijakan hijau yang sesuai dengan Teori Politik Hijau sehingga berpihak untuk kepentingan lingkungan. Lebih jauh lagi, melihat seberapa solutif kebijakan moratorium sawit ini menyelesaikan masalah tata kelola lahan dan konflik yang mencederai sektor pemasok APBN terbanyak tahun 2017.
Tinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang Raynaldo Sembiring
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 5 No 2 (2019): April
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38011/jhli.v5i2.93

Abstract

Kebijakan hukum yang berubah-ubah tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam tingkat tertentu, pertanyaan mengenai keadilan akan menjadi relevan ketika perubahan tersebut bertentangan dengan aturan yang seharusnya menjadi pedoman menjalankan pemerintahan. Apalagi jika hukum digunakan hanya untuk melegitimasi kebijakan yang dibentuk. Situasi ini disebut sebagai relativisme moral yang berimplikasi terhadap munculnya relativisme hukum. Dalam beberapa tahun terakhir, relativisme hukum dalam kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sangat sering terjadi. Salah satunya dalam kasus pembangunan pabrik Semen di Rembang. Dari kasus tersebut dapat terlihat, relativisme hokum yang menimbulkan masalah setidaknya dalam perspektif etika lingkungan dalam pelaksanaan tugas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan memaparkan kondisi relativisme hukum dalam kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dipilih, dengan ditinjau dari pendekatan etika lingkungan.
Politik Hukum di Kawasan Hutan dan Lahan bagi Masyarakat Hukum Adat Destara Sati
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 5 No 2 (2019): April
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38011/jhli.v5i2.94

Abstract

Masyarakat hukum adat sebagai bagian dari bangsa Indonesia menjadi salah satu subjek yang paling terdampak dari kebijakan terkait hutan dan lahan. Dengan membaca tren muatan peraturan perundang-undangan yang diundangkan oleh pemerintah di sektor kehutanan dan lahan, dapat dilihat arah kebijakan yang dibuat apakah semakin meminggirkan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat ataukah menempatkan masyarakat hukum adat sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang berhak atas wilayahnya. Dengan membaca tren muatan peraturan perundang undangan di Kawasan hutan dan lahan, pula dapat dipetakan keberpihakan pemerintah terhadap keberadaan masyarakat hukum adat yang berada di Kawasan hutan dan lahan, di mana hal tersebut seringkali menimbulkan konflik.
Mengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA): Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau Hariadi Kartodihardjo; Chalid Muhammad
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 5 No 2 (2019): April
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38011/jhli.v5i2.95

Abstract

Penulis mengaji Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau untuk mengatasi persoalan pelanggaran penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan yang telah terjadi puluhan tahun lalu. Hasil identifikasi arena aksi yang terjadi selama 3 tahun terakhir menunjukkan adanya inovasi-inovasi penyelesaian masalah, keterbukaan pengambilan keputusan serta fleksibilitas tindakan sesuai dengan kondisi di lapangan. Namun prakarsa ini nampak mulai terkendala atas semakin lemahnya dukungan politik, sehingga berpotensi melonggarkan ikatan-ikatan modal sosial yang sudah mulai tumbuh di wilayah itu. Pembelajaran yang dapat diambil mencakup urgensi terhadap beberapa hal seperti pemetaan sosial untuk memprioritaskan kekuatan lokal, pentingnya membangun trust, penguasaan arena aksi, pertimbangan sejarah dan budaya untuk menghindari kecemburuan atas pilihan kelompok masyarakat dari proses administratif, orientasi pada outcome bukan hanya capaian administrasi, adanya kebutuhan pendekatan ekologi politik, skala ekosistem, maupun keterbukaan informasi.
Ulasan Peraturan: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.3/PERMEN-KP/2018 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil untuk Eksploitasi Angela Vania Rustandi
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 5 No 2 (2019): April
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38011/jhli.v5i2.96

Abstract

Ada 3 (tiga) jenis kawasan konservasi yang terletak di ekosistem pesisir dan laut yaitu Kawasan Konservasi Laut (berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan), Kawasan Konservasi Perairan (berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan perubahannya UU No. 45 Tahun 2009), dan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau Kawasan Konservasi WP3K (berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan perubahannya UU No. 1 Tahun 2014). Masing-masing kawasan konservasi memiliki fungsi yang berbeda, tetapi pada dasarnya bertujuan untuk melindungi dan mewujudkan pengelolaan ekosistem laut yang berkelanjutan.[1] Di samping itu, kawasan konservasi juga berfungsi untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kawasan konservasi membantu meningkatkan ketahanan ekosistem sekitarnya terhadap perubahan iklim dengan cara mengurangi faktor-faktor lain yang mengancam ekosistem sehingga menempatkan ekosistem tersebut pada posisi yang lebih baik untuk menghadapi perubahan iklim.[2] Kawasan konservasi juga mempromosikan ekosistem yang bertindak sebagai penyerap karbon yang lebih kuat dengan memelihara dan meningkatkan hutan bakau, padang lamun, dan rawa serta melindungi hewan yang memegang peran penting dalam siklus karbon.[3]Kawasan Konservasi WP3K adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.[4] Kawasan Konservasi WP3K diselenggarakan untuk: (a) menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, (b) melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain, (c) melindungi habitat biota laut, dan (d) melindungi situs budaya tradisional.[5] Kawasan Konservasi WP3K dibagi menjadi tiga zona yaitu zona inti, zona pemanfaatan terbatas, dan zona lain sesuai dengan peruntukan kawasan.[6] Zona inti ditetapkan untuk perlindungan habitat dan populasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta pemanfaatannya hanya terbatas untuk penelitian.[7] Sedangkan, zona pemanfaatan terbatas dimanfaatkan hanya untuk budidaya pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional.[8] Sayangnya,  ada ketentuan dalam UU No. 27 Tahun 2007 dan perubahannya UU No. 1 Tahun 2014 serta peraturan pelaksananya yang dapat mengancam eksistensi Kawasan Konservasi WP3K di Indonesia. [1] Indonesia, Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 1 Tahun 2014, LN Tahun 2014 No. 2, TLN No. 5490, Pasal 1 Angka 20, Indonesia, Undang-Undang Kelautan, UU No. 32 Tahun 2014, LN Tahun 2014 No.  294, TLN No. 5603, Pasal 51, Indonesia, Peraturan Pemerintah Konservasi Sumber Daya Ikan, PP No. 60 Tahun 2007, LN Tahun 2007 No. 134, TLN No. 4779, Pasal 1 Angka 8.[2] Davis, Neil, “What Role for Marine Protected Areas in A Future of Climate Change?,” http://ibis.geog.ubc.ca/biodiversity/MarineProtectedAreasUnderClimateChange.html, diakses tanggal 10 Januari 2019. [3] Roberts, M. Callum, et.al., “Marine Reserves Can Mitigate and Promote Adaptation to Climate Change,” Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America vol. 114 no. 24 (June 2017), hlm. 6171.[4] Indonesia, Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 1 Tahun 2014, LN Tahun 2014 No. 2, TLN No. 5490, Pasal 1 Angka 20.[5] Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 27 Tahun 2007, LN Tahun 2007 No. 84, TLN No. 4739, Pasal 28 Ayat 1.[6] Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 27 Tahun 2007, LN Tahun 2007 No. 84, TLN No. 4739, Pasal 29.[7] Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 27 Tahun 2007, LN Tahun 2007 No. 84, TLN No. 4739, Penjelasan Pasal 29.[8] Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 27 Tahun 2007, LN Tahun 2007 No. 84, TLN No. 4739, Penjelasan Pasal 29.
Ulasan Buku “Struggling for Air: Power Plants and The War on Coal” oleh Richard L. Revesz dan Jack Lienke Fajri Fadhillah
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 5 No 2 (2019): April
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38011/jhli.v5i2.97

Abstract

Buku berjudul “Struggling for Air, Power Plants and the “War on Coal”” menjelaskan tentang ketentuan “grandfathering”, yakni kelemahan dari 1970 Clean Air Act yang memberikan kewenangan pemerintahan federal Amerika Serikat untuk menetapkan baku mutu emisi yang lebih ketat untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara (PLTU Batubara) baru, namun mengecualikan baku mutu emisi tersebut untuk PLTU Batubara yang sudah lebih dulu beroperasi. Ketentuan tersebut menyebabkan upaya pemulihan udara di negara-negara bagian di Amerika Serikat semakin sulit karena PLTU-PLTU batubara tua dengan emisi yang tinggi tetap beroperasi bahkan melebihi umur operasi pada umumnya. Ulasan buku ini menjadi relevan diletakkan dalam konteks upaya pengendalian pencemaran udara di Indonesia yang juga didominasi oleh PLTU Batubara dalam sistem ketenagalistrikannya.
Conflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup dengan Kemudahan Berinvestasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Arya Rema Mubarak
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 5 No 2 (2019): April
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38011/jhli.v5i2.98

Abstract

Pemerintah tampak abai dalam melindungi dan memastikan keberlanjutan sumber daya alam di Indonesia. Hutan hujan di Indonesia mengalami pengurangan yang signifikan. Sebanyak 84% total lahan pada tahun 1900, berkurang menjadi 52% pada tahun 2010. Perkembangan industri tahun 1970an-2000an diduga sebagai kontributor terbesar. Alih-alih melindunginya, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (dikenal dengan Online Single Submission (OSS)) yang berpotensi memperparah kerusakan lingkungan. PP ini bertujuan untuk mempersingkat permohonan izin berusaha, tidak diiringi langkah yang cermat. PP ini menyalahi mekanisme perizinan yang diperkenalkan oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dengan menciptakan norma baru yang disebut sebagai “komitmen” yang dipercaya dapat mempermudah terbitnya izin yang diperlukan untuk berusaha di Indonesia. PP ini juga mengabaikan asas pencegahan dalam hukum lingkungan (preventive principle), dengan dimungkinkannya penerbitan izin usaha berdasarkan komitmen tanpa kajian atas dampak lingkungan yang layak.

Page 1 of 1 | Total Record : 8